Sunday 17 February 2013

Apakah Wanita Cantik Otomatis Bahagia ?



Wanita adalah makhluk yang sangat beruntung karena diciptakan dengan fisiologi jauh lebih indah dari pria. Wanita juga diberikan hak untuk terus semakin memperindah diri di sepanjang hidupnya. Tak heran seluruh pria di dunia ini sering bertekuk lutut di hadapan keindahan wanita. Bukan pria saja, sesama wanita pun terbiasa mengagumi keindahan wanita lainnya. Bahkan menurut penelitian, bayi cenderung menatap lebih lama pada wajah yang cantik.
Jadi wanita cantik, baik secara alamiah atau dengan berbagai penambah estetikanya, terlihat memiliki kehidupan yang sangat menyenangkan. Kecantikan seseorang bisa membawa kebahagiaan karena semakin cantik seorang wanita, semakin dia mendapat banyak akses menuju hal-hal yang memberi kebahagiaan. Misalnya secara pergaulan sosial, mereka pasti banyak dikagumi orang sehingga memiliki banyak teman. Secara karir, mereka juga pasti tidak kesulitan menarik hati orang lewat kecantikannya, apalagi ditambah kalau ia juga pintar.
Jadi dengan seluruh keuntungan di atas, wanita cantik itu sudah pasti merasa bahagia, ‘kan? Atau setidaknya lebih bahagia dibandingkan wanita yang kurang cantik? Jawabannya, tidak! Dalam buku Psychology Applied To Modern Life, “Given that physical attractiveness is an important resource in Western society, we might expect attractive people to be happier than others, but the available data indicate that the correlation between attractiveness and happiness is negligible.” Negligible artinya ‘tidak berarti’, ‘tidak signifikan’, atau ‘sedemikian kecil sehingga tidak perlu diperhitungkan.’ Bisa dibilang, malah efeknya berbanding terbalik. Alias semakin cantik wanita, semakin dia sulit untuk merasakan kebahagiaan yang stabil. Berikut sepuluh penjelasannya:
1. Kecantikan itu kompetitif
Para wanita mempercantik dirinya bukan untuk menarik perhatian Anda, melainkan demi mengimbangi dan mengalahkan wanita lainnya. Jika Anda memiliki sahabat wanita yang cantik, Anda pasti bisa merasakan ‘kompetisi rahasia’ ini dengan wanita cantik lainnya. Mereka terlihat sangat bersahabat satu sama lain, namun saat berpisah sejenak saja (misalnya ke toilet), masing-masing akan akan saling membicarakan yang lain dengan nada yang agak 'miring'.
Kehadiran wanita cantik lain akan selalu membuat seorang wanita merasa tidak cukup cantik, walaupun ia tidak akan mengakuinya. Wanita memang cenderung membandingkan dirinya dengan wanita lain, lebih-lebih wanita cantik. Tak heran mereka merasa insecure. Ketika bercermin, mereka berharap melihat refleksi diri yang dua kali lebih cantik daripada diri sebenarnya dan tiga kali lebih cantik daripada wanita tercantik lainnya. Inilah yang memicu ucapan terkenal yang sangat kompetitif itu, “Mirror mirror on the wall, who’s the prettiest of them tall?“

2. Kecantikan itu adiktif
Lebih tepatnya, menarik perhatian dan menjadi pusat perhatian itu adiktif. Sebagai manusia, kita selalu butuh diperhatikan. Sekali saja kita merasakan sensasi menjadi pusat perhatian, maka kita selalu menginginkannya dan merasa tidak dapat hidup tanpanya. Kehilangan perhatian dari satu pria saja, sekalipun masih ada 99 pria lainnya, bisa membuat seorang wanita cantik merasa 'gerah', kalang kabut, dan berusaha mengejar si satu pria ‘brengsek’ itu.
3. Kecantikan itu diskriminatif
Tadi Anda sudah baca bahwa wanita cantik diperlakukan lebih manis, lebih disukai, dan lebih-lebih lainnya. Namun diskriminasi itu juga tidak selalu menguntungkan mereka. Jika sang wanita cantik kebetulan lalai, malas, ceroboh, atau tidak terampil, maka mereka akan lebih dihakimi, diledek, direndahkan wanita lain yang bersikap sama namun tidak berpenampilan cantik. Kecantikan adalah pedang bermata ganda.
4. Kecantikan itu manipulasi bisnis raksasa
Wanita terus dimanipulasi oleh media dan industri kecantikan untuk mempercantik dirinya tanpa pernah berhenti. Mereka hanya bisa bahagia sejenak setelah mengkonsumsi produk tertentu, lalu merasa kurang bahagia lagi ketika melihat seorang bintang iklan yang lebih muda dan lebih kurus. Majalah wanita penuh dengan artikel yang mencuci otak mereka bahwa dengan menurunkan berat badan mereka bisa mendapat seluruh kemudahan hidup: pernikahan, seks, dan karir.
Itu adalah dusta-dusta yang selalu diumbar oleh media dan alasannya adalah jelas motif bisnis. Wanita Amerika rata-rata menghabiskan $12,000 per tahun untuk perawatan kecantikannya, jadi bayangkan betapa besar kerugian industri kecantikan jika seluruh wanita tak perlu kosmetika. Dengan merepresentasikan kecantikan yang terlalu ideal dan sulit diikuti, industri kosmetik dan produk diet akan terjamin masa depannya. Jadi wanita cantik bisa lebih bahagia jika mereka berhenti melihat iklan di majalah dan TV.
5. Kecantikan itu sarat ide utopian
Dalam bahasa sehari-hari, utopian bisa diartikan ‘khayalan’ atau ‘menarik tapi tidak dapat diterapkan’. Contohnya, Anda pasti tahu boneka Barbie? Nah, para periset medis sudah meneliti bahwa proporsi tubuh Barbie ternyata sangat berbahaya dilakukan di dunia nyata. Punggungnya terlalu lemah untuk menyokong berat bagian tubuh atas dan tubuhnya terlalu sempit sehingga bisa merusak hati, ginjal, dan saluran pencernaan lainnya.
Wanita yang benar-benar berbentuk seperti itu dipastikan mengalami penyakit lambung yang kronis dan cenderung meninggal karena malnutrisi. Yang mengerikan adalah menurut survei, 99% dari anak kecil usia 3-10 tahun di seluruh dunia sangat mencintai figur Barbie dan memiliki setidaknya satu boneka saja. Silakan duga-duga sendiri seberapa kurang bahagia mereka ketika besar nanti menyadari bahwa figur tubuh impiannya itu tidak mungkin dicapai dengan keadaan tubuh yang sehat.
Kecantikan itu topeng yang menyulitkan
Karena sudah cantik dan indah, wanita cantik jarang dianggap punya masalah. Semua orang (terutama pria!) menganggap wanita cantik menjalani hidup dengan mudahnya. Akibatnya wanita demikian jadi sulit sekali untuk bersahabat apa adanya dengan orang lain. Mereka terpaksa mengamini ekspektasi orang lain bahwa hidup mereka itu selalu indah, karena toh bercerita tentang kesulitan hidup hanya akan diresponi dengan tidak percaya atau tidak serius, “Ah sudahlah, itu bukan masalah… kamu kan cantik, nggak perlu repot mikirin itu.” Jadi daripada curhat, lebih baik mereka menyimpan dan menangisi sendiri. Itu sebabnya banyak wanita cantik yang sering berkesan sok positive-thinking, sehingga kita juga semakin terbius bahwa hidup mereka enak-enak saja.
Kecantikan itu obsesi metropolitan
 Dalam penelitian Victoria Plaut, Does Attractiveness Buy Happiness?, ia menemukan bahwa jawabannya ya hanya jika sang wanita tinggal di daerah perkotaan. Wanita cantik yang tinggal di pedesaan tidak akan begitu merasakan perbedaan kebahagiaan atau kenikmatan tersebut. Anda pasti sudah sering melihat mahasiswi dari daerah yang pindah ke kuliah ke Jakarta, kecantikannya meningkat seiring tingkat semesternya. Kecantikan adalah kebutuhan baru yang dikonstruksikan (baca: dipaksakan) oleh masyarakat modern.
Kecantikan itu membingungkan
Semua orang menyarankan jadi diri sendiri apa adanya. Bahkan semua media televisi dan majalah juga menyuarakan seperti itu. Anehnya, kita juga dibombardir dengan produk kosmetika yang membuat diri Anda lebih indah secara alamiah, “Get that natural beauty with product X and Y!” Alamiah tapi kok pakai produk? Paradoks.
Kecantikan itu menyakitkan
Wanita cantik menderita secara fisik dan finansial ketika sadar bahwa dirinya cantik dan perlu mempertahankan kecantikannya itu.

Kecantikan itu temporer
Jauh di dalam dirinya, setiap wanita menyadari bahwa kecantikan mereka memiliki batas kadaluarsa. Usia produktif kecantikan kurang lebih sepuluh tahun saja, kasarnya dari usia 17-27. Itu sebabnya semakin mendekati batas akhir, wanita cantik semakin selektif dalam memilih pasangan, bitchy, atau sejenisnya karena ‘tahu’ bahwa jadwal tayang kecantikan-alamiah mereka sudah nyaris habis.
Menjelang usia 30an, mereka yang punya resources untuk membeli kosmetik ‘kecantikan-alamiah’ akan terus membudidayakan sikap seperti itu, sementara mereka yang tidak mampu mulai menurunkan standar preferensi pasangannya. Tapi tidak peduli berasal dari kaum mana, wanita cantik selalu dibayang-bayangi kecemasan abadi, “Apa yang akan terjadi seandainya saya tidak cantik lagi? Apakah mereka masih mau jadi teman saya? Apakah kekasih saya tetap mencintai saya?” Ini adalah kekhawatiran yang tidak menghantui para wanita yang kurang diberkahi dengan kecantikan.

Jadi, apakah wanita cantik itu terlihat bahagia? Jelas ya. Namun apakah mereka benar-benar bahagia? Melihat poin-poin di atas, mungkin saja mereka masih bahagia, tapi yang jelas tidak sebahagia yang kita pikir. Saat ini masyarakat modern memberi banyak sekali penekanan pada gaya hidup yang cantik dan indah sebagai indikator kebahagiaan hidup.
Jadi jika Anda bersahabat dengan wanita cantik, berhentilah terkagum-kagum ataupun memujanya. Karena realitanya adalah mereka tidak sebahagia itu! Mereka justru ‘tersiksa’ karena kecantikannya itu, sekalipun mereka akan menyangkal fakta itu mati-matian. Masih ada banyak poin ketidakbahagiaan lainnya yang tidak bisa saya jabarkan di sini karena bisa dianggap politically incorrect oleh para wanita.
“What is beautiful is good,” kata Plato. “Beauty is truth, truth beauty,” tulis John Keats. Anatole France menyuarakan, “Beauty is more profound than truth itself.” Bagi saya pribadi, “Beauty is an ironic tragedy we all love to see.”

No comments:

Post a Comment