Wanita adalah
makhluk yang sangat beruntung karena diciptakan dengan fisiologi jauh lebih
indah dari pria. Wanita juga diberikan hak untuk terus semakin memperindah diri
di sepanjang hidupnya. Tak heran seluruh pria di dunia ini sering bertekuk
lutut di hadapan keindahan wanita. Bukan pria saja, sesama wanita pun terbiasa
mengagumi keindahan wanita lainnya. Bahkan menurut penelitian, bayi cenderung
menatap lebih lama pada wajah yang cantik.
Jadi wanita cantik, baik secara alamiah atau dengan berbagai penambah
estetikanya, terlihat memiliki kehidupan yang sangat menyenangkan. Kecantikan
seseorang bisa membawa kebahagiaan karena semakin cantik seorang wanita,
semakin dia mendapat banyak akses menuju hal-hal yang memberi
kebahagiaan. Misalnya secara pergaulan sosial, mereka pasti banyak
dikagumi orang sehingga memiliki banyak teman. Secara karir, mereka juga pasti
tidak kesulitan menarik hati orang lewat kecantikannya, apalagi ditambah kalau
ia juga pintar.
Jadi dengan seluruh keuntungan di atas, wanita cantik itu sudah pasti merasa
bahagia, ‘kan? Atau setidaknya lebih bahagia dibandingkan wanita yang kurang
cantik? Jawabannya, tidak! Dalam buku Psychology Applied To Modern
Life, “Given that physical attractiveness is an important resource in Western
society, we might expect attractive people to be happier than others, but the
available data indicate that the correlation between attractiveness and
happiness is negligible.” Negligible artinya ‘tidak berarti’, ‘tidak
signifikan’, atau ‘sedemikian kecil sehingga tidak perlu diperhitungkan.’ Bisa
dibilang, malah efeknya berbanding terbalik. Alias semakin cantik wanita,
semakin dia sulit untuk merasakan kebahagiaan yang stabil. Berikut sepuluh
penjelasannya:
1. Kecantikan itu kompetitif
Para wanita mempercantik dirinya bukan untuk menarik perhatian Anda, melainkan
demi mengimbangi dan mengalahkan wanita lainnya. Jika Anda memiliki sahabat
wanita yang cantik, Anda pasti bisa merasakan ‘kompetisi rahasia’ ini dengan
wanita cantik lainnya. Mereka terlihat sangat bersahabat satu sama lain, namun
saat berpisah sejenak saja (misalnya ke toilet), masing-masing akan akan saling
membicarakan yang lain dengan nada yang agak 'miring'.
Kehadiran wanita cantik lain akan selalu membuat seorang wanita merasa tidak
cukup cantik, walaupun ia tidak akan mengakuinya. Wanita memang cenderung
membandingkan dirinya dengan wanita lain, lebih-lebih wanita cantik. Tak heran
mereka merasa insecure. Ketika bercermin, mereka berharap melihat refleksi diri
yang dua kali lebih cantik daripada diri sebenarnya dan tiga kali lebih cantik
daripada wanita tercantik lainnya. Inilah yang memicu ucapan terkenal yang
sangat kompetitif itu, “Mirror mirror on the wall, who’s the prettiest of them
tall?“
2. Kecantikan itu adiktif
Lebih tepatnya, menarik perhatian dan menjadi pusat perhatian itu adiktif.
Sebagai manusia, kita selalu butuh diperhatikan. Sekali saja kita merasakan
sensasi menjadi pusat perhatian, maka kita selalu menginginkannya dan merasa
tidak dapat hidup tanpanya. Kehilangan perhatian dari satu pria saja, sekalipun
masih ada 99 pria lainnya, bisa membuat seorang wanita cantik merasa 'gerah',
kalang kabut, dan berusaha mengejar si satu pria ‘brengsek’ itu.
3. Kecantikan itu diskriminatif
Tadi Anda sudah baca bahwa wanita cantik diperlakukan lebih manis, lebih
disukai, dan lebih-lebih lainnya. Namun diskriminasi itu juga tidak selalu
menguntungkan mereka. Jika sang wanita cantik kebetulan lalai, malas,
ceroboh, atau tidak terampil, maka mereka akan lebih dihakimi, diledek,
direndahkan wanita lain yang bersikap sama namun tidak berpenampilan cantik.
Kecantikan adalah pedang bermata ganda.
4. Kecantikan itu manipulasi bisnis raksasa
Wanita terus dimanipulasi oleh media dan industri kecantikan untuk mempercantik
dirinya tanpa pernah berhenti. Mereka hanya bisa bahagia sejenak setelah
mengkonsumsi produk tertentu, lalu merasa kurang bahagia lagi ketika melihat
seorang bintang iklan yang lebih muda dan lebih kurus. Majalah wanita penuh
dengan artikel yang mencuci otak mereka bahwa dengan menurunkan berat badan
mereka bisa mendapat seluruh kemudahan hidup: pernikahan, seks, dan karir.
Itu adalah dusta-dusta yang selalu diumbar oleh media dan alasannya adalah
jelas motif bisnis. Wanita Amerika rata-rata menghabiskan $12,000 per tahun
untuk perawatan kecantikannya, jadi bayangkan betapa besar kerugian industri
kecantikan jika seluruh wanita tak perlu kosmetika. Dengan merepresentasikan
kecantikan yang terlalu ideal dan sulit diikuti, industri kosmetik dan produk
diet akan terjamin masa depannya. Jadi wanita cantik bisa lebih bahagia jika
mereka berhenti melihat iklan di majalah dan TV.
5. Kecantikan itu sarat ide utopian
Dalam bahasa sehari-hari, utopian bisa diartikan ‘khayalan’ atau ‘menarik tapi
tidak dapat diterapkan’. Contohnya, Anda pasti tahu boneka Barbie? Nah, para
periset medis sudah meneliti bahwa proporsi tubuh Barbie ternyata sangat
berbahaya dilakukan di dunia nyata. Punggungnya terlalu lemah untuk menyokong
berat bagian tubuh atas dan tubuhnya terlalu sempit sehingga bisa merusak hati,
ginjal, dan saluran pencernaan lainnya.
Wanita yang benar-benar berbentuk seperti itu dipastikan mengalami penyakit
lambung yang kronis dan cenderung meninggal karena malnutrisi. Yang mengerikan
adalah menurut survei, 99% dari anak kecil usia 3-10 tahun di seluruh dunia
sangat mencintai figur Barbie dan memiliki setidaknya satu boneka saja. Silakan
duga-duga sendiri seberapa kurang bahagia mereka ketika besar nanti menyadari
bahwa figur tubuh impiannya itu tidak mungkin dicapai dengan keadaan tubuh yang
sehat.
Kecantikan itu topeng yang menyulitkan
Karena sudah cantik dan indah, wanita cantik jarang dianggap punya masalah.
Semua orang (terutama pria!) menganggap wanita cantik menjalani hidup dengan
mudahnya. Akibatnya wanita demikian jadi sulit sekali untuk bersahabat apa
adanya dengan orang lain. Mereka terpaksa mengamini ekspektasi orang lain bahwa
hidup mereka itu selalu indah, karena toh bercerita tentang kesulitan hidup
hanya akan diresponi dengan tidak percaya atau tidak serius, “Ah sudahlah, itu
bukan masalah… kamu kan cantik, nggak perlu repot mikirin itu.” Jadi daripada
curhat, lebih baik mereka menyimpan dan menangisi sendiri. Itu sebabnya banyak
wanita cantik yang sering berkesan sok positive-thinking, sehingga kita juga
semakin terbius bahwa hidup mereka enak-enak saja.
Kecantikan itu obsesi metropolitan
Dalam penelitian Victoria Plaut, Does Attractiveness Buy Happiness?, ia
menemukan bahwa jawabannya ya hanya jika sang wanita tinggal di daerah
perkotaan. Wanita cantik yang tinggal di pedesaan tidak akan begitu merasakan
perbedaan kebahagiaan atau kenikmatan tersebut. Anda pasti sudah sering melihat
mahasiswi dari daerah yang pindah ke kuliah ke Jakarta, kecantikannya meningkat
seiring tingkat semesternya. Kecantikan adalah kebutuhan baru yang
dikonstruksikan (baca: dipaksakan) oleh masyarakat modern.
Kecantikan itu membingungkan
Semua orang menyarankan jadi diri sendiri apa adanya. Bahkan semua media
televisi dan majalah juga menyuarakan seperti itu. Anehnya, kita juga
dibombardir dengan produk kosmetika yang membuat diri Anda lebih indah secara
alamiah, “Get that natural beauty with product X and Y!” Alamiah tapi kok pakai
produk? Paradoks.
Kecantikan itu menyakitkan
Wanita cantik menderita secara fisik dan finansial ketika sadar bahwa dirinya
cantik dan perlu mempertahankan kecantikannya itu.
Kecantikan itu temporer
Jauh di dalam dirinya, setiap wanita menyadari bahwa kecantikan mereka memiliki
batas kadaluarsa. Usia produktif kecantikan kurang lebih sepuluh tahun saja,
kasarnya dari usia 17-27. Itu sebabnya semakin mendekati batas akhir, wanita
cantik semakin selektif dalam memilih pasangan, bitchy, atau sejenisnya karena
‘tahu’ bahwa jadwal tayang kecantikan-alamiah mereka sudah nyaris habis.
Menjelang usia 30an, mereka yang punya resources untuk membeli kosmetik
‘kecantikan-alamiah’ akan terus membudidayakan sikap seperti itu, sementara mereka
yang tidak mampu mulai menurunkan standar preferensi pasangannya. Tapi tidak
peduli berasal dari kaum mana, wanita cantik selalu dibayang-bayangi kecemasan
abadi, “Apa yang akan terjadi seandainya saya tidak cantik lagi? Apakah mereka
masih mau jadi teman saya? Apakah kekasih saya tetap mencintai saya?” Ini
adalah kekhawatiran yang tidak menghantui para wanita yang kurang diberkahi
dengan kecantikan.
Jadi, apakah wanita cantik itu terlihat bahagia? Jelas ya. Namun apakah
mereka benar-benar bahagia? Melihat poin-poin di atas, mungkin saja mereka
masih bahagia, tapi yang jelas tidak sebahagia yang kita pikir. Saat ini
masyarakat modern memberi banyak sekali penekanan pada gaya hidup yang cantik
dan indah sebagai indikator kebahagiaan hidup.
Jadi jika Anda bersahabat dengan wanita cantik, berhentilah terkagum-kagum
ataupun memujanya. Karena realitanya adalah mereka tidak sebahagia itu! Mereka
justru ‘tersiksa’ karena kecantikannya itu, sekalipun mereka akan menyangkal
fakta itu mati-matian. Masih ada banyak poin ketidakbahagiaan lainnya yang
tidak bisa saya jabarkan di sini karena bisa dianggap politically incorrect
oleh para wanita.
“What is beautiful is good,” kata Plato. “Beauty is truth, truth beauty,” tulis
John Keats. Anatole France menyuarakan, “Beauty is more profound than truth
itself.” Bagi saya pribadi, “Beauty is an ironic tragedy we all love to see.”